Alunan melodi syahdu tergiang di telingaku, kucoba pejamkan mataku dalam kesunyian malam tak kunjung lelap. Arloji di tanganku sudah menunjukkan pada pukul 23.59 Wib. Aku berpaling dan memandang langit-langit kamarku, bayangan dua bulan silam kembali mengisi relung hatiku.
Kisah yang menakutkan itu membuatku kehilangan sebagian dari diriku. Kisah yang membuatku tak mampu lagi menegakkan kepalaku. Kuambil sejumlah album untuk mengisi malamku, foto yang penuh dengan pancaran senyuman murni dan tulus ketika mengenakan seragam sekolah. Aku terdiam dimana senyumku dulu bisik hatiku. Tiba-tiba saja air mataku membasahi wajahku selekas kisah itu terekam kembali dalam benakku, hingga akhirnya aku terlelap sampai pagi.
Sinar mentari seakan mengerti kekalutan hatiku, menyinari dan seolah mengajakku berjalan pada sebuah taman yang kutinggalkan pada enam tahun yang lalu. Seakan mau mengisahkan sebuah kehangatan cinta Ilahi di awal aku mengenal jubah putih. Aku mulai berkisah pada daun hijau disekelilingku. Aku tak menyangka masih sanggup berdiri di atas tanah yang telah kutinggalkan enam tahun lalu dengan jubah putihku. Enam tahun yang tak mudah kulalui, aku sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak tahu berujung di mana.
Aku dihantar pada sebuah kenyataan yang tak mudah aku terima, jalan penuh liku, orang-orang yang sulit kupahami dan juga tangan-tangan halus yang menyeka air mataku. Seakan semuanya itu membuatku tidak mengerti jalan yang telah kupilih, hingga saat yang menyedihkan itu kuputuskan untuk pergi selamanya dari gedung-gedung kebingungan itu dan pergi berteriak pada sebuah hutan luas melepas semua bebanku.
Tetapi tangan-tangan halus itu datang dan menyeka air mataku, memberikan kompas. Kompas yang utuh dan aku berharap kompas itu mampu menunjukkan segala arah yang kupilih dan memudahkan semua perjalananku. Ternyata tidak. Ditengah lautan saat perjalanan panjang kompasku hilang ditelah badai, kompas yang kugenggam, kupeluk dan tak ingin kulepas yang namanya agung dan kusebut Yesus.
Kami terlepas oleh ombak dasyat, ombak keegoisanku yang tak ingin lagi menangis dan bingung dalam setiap jalan yang kupilih. Entah aku yang salah atau Tuhanku sedang menguji akupun tak tahu.
Aku dihadapkan pada pilihan yang tak mudah memilih untuk meneruskan perjalanan atau berhenti karena ombak yang besar itu. Maka dengan harapan yang masih tersisa kuputuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Namun dalam perjalanan itu bukan hanya ombak tetapi mulai marasa bahwa perahu yang aku tumpangi sedang rusak. Aku mulai bertanya-tanya siapa yang membuat perahuku rusak, aku mulai menjerit ketakutan, aku berfikir segalanya akan berakhir. Kucari kembali kompas, kutunggu datangnya tangan-tangan halus alisa tangan-tangan malaikat untuk menolongku. Tetapi sungguh menyedihkan tangan-tangan halus tak mendengar suaraku. Yang muncul dihadapanku adalah batu karang yang menabrak perahuku dan melemparkan aku ke tengah badai, sehingga tak ada harapan akan selamat sampai tujuan.
Aku telah membayangkan sebuah akhir kehidupanku tanpa sipemilik tangan-tangan halus yang kumiliki selama perjalananku, yang telah memampukanku untuk terus melaju kearah yang akan kutuju. Aku membayangkan bahwa batu karang lautan, hewan-hewan buas di lautan ini akan mengakhiri seluruh perjalananku. Kubersimpuh tak berdaya, kulepas semua anganku tentang cita dan harapku tuk meraih mimpiku.
Suatu kejutan halus itu telah menopang perahuku dan membawakan kompasku yang hilang, aku hampir tak percaya akan semua yang terjadi, walau semua tangan-tangan halus itu atau malaikat-malaikat kecil itu sudah dihadapanku, ombak pun mulai menghindar tetapi masih kuurungkan niatku untuk melanjutkan perjalanan. Terbayang ketakutan akan bahaya ditengah lautan. Aku menyuruh sipemilik tangan-tangan halus itu pergi meninggalkanku sendirian, tetapi bujuk rayunya yang menyentuh hati membuatku tak berdaya untuk berpisah, sembari kumohon agar tetap bersamaku. Aku mencoba untuk menjadikan semuanya itu pedoman hidup, kupeluk kompasku erat-erat dan kini aku hampir tiba pada tujuanku, yaitu sebuah kesetiaan akan Sang Pemilik Kehidupanku, Sang Penunjuk arah dan jalanku.
Kini ia menunjukkan padaku sesuatu yang telah hilang dalam perjalanan yang kulalui, sesuatu itu sangat berharga yang pernah aku miliki. Di tempat aku berdiri kini kutemukan kembali segalanya kompasku.....YESUS....yang tak pernah meninggalkanku.
Sr.M.Alexandra Silitonga FCJM
Kisah yang menakutkan itu membuatku kehilangan sebagian dari diriku. Kisah yang membuatku tak mampu lagi menegakkan kepalaku. Kuambil sejumlah album untuk mengisi malamku, foto yang penuh dengan pancaran senyuman murni dan tulus ketika mengenakan seragam sekolah. Aku terdiam dimana senyumku dulu bisik hatiku. Tiba-tiba saja air mataku membasahi wajahku selekas kisah itu terekam kembali dalam benakku, hingga akhirnya aku terlelap sampai pagi.
Sinar mentari seakan mengerti kekalutan hatiku, menyinari dan seolah mengajakku berjalan pada sebuah taman yang kutinggalkan pada enam tahun yang lalu. Seakan mau mengisahkan sebuah kehangatan cinta Ilahi di awal aku mengenal jubah putih. Aku mulai berkisah pada daun hijau disekelilingku. Aku tak menyangka masih sanggup berdiri di atas tanah yang telah kutinggalkan enam tahun lalu dengan jubah putihku. Enam tahun yang tak mudah kulalui, aku sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak tahu berujung di mana.
Aku dihantar pada sebuah kenyataan yang tak mudah aku terima, jalan penuh liku, orang-orang yang sulit kupahami dan juga tangan-tangan halus yang menyeka air mataku. Seakan semuanya itu membuatku tidak mengerti jalan yang telah kupilih, hingga saat yang menyedihkan itu kuputuskan untuk pergi selamanya dari gedung-gedung kebingungan itu dan pergi berteriak pada sebuah hutan luas melepas semua bebanku.
Tetapi tangan-tangan halus itu datang dan menyeka air mataku, memberikan kompas. Kompas yang utuh dan aku berharap kompas itu mampu menunjukkan segala arah yang kupilih dan memudahkan semua perjalananku. Ternyata tidak. Ditengah lautan saat perjalanan panjang kompasku hilang ditelah badai, kompas yang kugenggam, kupeluk dan tak ingin kulepas yang namanya agung dan kusebut Yesus.
Kami terlepas oleh ombak dasyat, ombak keegoisanku yang tak ingin lagi menangis dan bingung dalam setiap jalan yang kupilih. Entah aku yang salah atau Tuhanku sedang menguji akupun tak tahu.
Aku dihadapkan pada pilihan yang tak mudah memilih untuk meneruskan perjalanan atau berhenti karena ombak yang besar itu. Maka dengan harapan yang masih tersisa kuputuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Namun dalam perjalanan itu bukan hanya ombak tetapi mulai marasa bahwa perahu yang aku tumpangi sedang rusak. Aku mulai bertanya-tanya siapa yang membuat perahuku rusak, aku mulai menjerit ketakutan, aku berfikir segalanya akan berakhir. Kucari kembali kompas, kutunggu datangnya tangan-tangan halus alisa tangan-tangan malaikat untuk menolongku. Tetapi sungguh menyedihkan tangan-tangan halus tak mendengar suaraku. Yang muncul dihadapanku adalah batu karang yang menabrak perahuku dan melemparkan aku ke tengah badai, sehingga tak ada harapan akan selamat sampai tujuan.
Aku telah membayangkan sebuah akhir kehidupanku tanpa sipemilik tangan-tangan halus yang kumiliki selama perjalananku, yang telah memampukanku untuk terus melaju kearah yang akan kutuju. Aku membayangkan bahwa batu karang lautan, hewan-hewan buas di lautan ini akan mengakhiri seluruh perjalananku. Kubersimpuh tak berdaya, kulepas semua anganku tentang cita dan harapku tuk meraih mimpiku.
Suatu kejutan halus itu telah menopang perahuku dan membawakan kompasku yang hilang, aku hampir tak percaya akan semua yang terjadi, walau semua tangan-tangan halus itu atau malaikat-malaikat kecil itu sudah dihadapanku, ombak pun mulai menghindar tetapi masih kuurungkan niatku untuk melanjutkan perjalanan. Terbayang ketakutan akan bahaya ditengah lautan. Aku menyuruh sipemilik tangan-tangan halus itu pergi meninggalkanku sendirian, tetapi bujuk rayunya yang menyentuh hati membuatku tak berdaya untuk berpisah, sembari kumohon agar tetap bersamaku. Aku mencoba untuk menjadikan semuanya itu pedoman hidup, kupeluk kompasku erat-erat dan kini aku hampir tiba pada tujuanku, yaitu sebuah kesetiaan akan Sang Pemilik Kehidupanku, Sang Penunjuk arah dan jalanku.
Kini ia menunjukkan padaku sesuatu yang telah hilang dalam perjalanan yang kulalui, sesuatu itu sangat berharga yang pernah aku miliki. Di tempat aku berdiri kini kutemukan kembali segalanya kompasku.....YESUS....yang tak pernah meninggalkanku.
Sr.M.Alexandra Silitonga FCJM
Tak terbiasa aku hidup tanpamu
Sepi rasanya dunia ini tanpa hadirmu
Termenung sendiri mengingat canda tawamu
Mengingat semua keluh kesahmu.
Tak ada kata lain selain rindu untukmu
Merindumu adalah makanan sehari-hariku
Menangis kala ku ingat senyum manismu
Sedih rasanya hati ini mengingat tingkah lakuku.
Disini aku kan selalu berdoa untukmu
Berdoa supaya engkau ada disisi-Nya
Ditempat yang paling indah di sana
Bersema semua malaikat Tuhan.
Ku mencintaimu ibu
Selalu mencintaimu
Tersimpan kokoh dalam hati
Tak akan pernah terganti dalam hidupku.
Sepi rasanya dunia ini tanpa hadirmu
Termenung sendiri mengingat canda tawamu
Mengingat semua keluh kesahmu.
Tak ada kata lain selain rindu untukmu
Merindumu adalah makanan sehari-hariku
Menangis kala ku ingat senyum manismu
Sedih rasanya hati ini mengingat tingkah lakuku.
Disini aku kan selalu berdoa untukmu
Berdoa supaya engkau ada disisi-Nya
Ditempat yang paling indah di sana
Bersema semua malaikat Tuhan.
Ku mencintaimu ibu
Selalu mencintaimu
Tersimpan kokoh dalam hati
Tak akan pernah terganti dalam hidupku.
Bicara ...................
...pada saat yang tepat adalah pilihan yang tepat
...di depan musuh adalah kesopanan
...pada waktunya adalah tepat
...Di depan ketidakadilan adalah suatu kebencian
Diam ……………
...tentang kekurangan sesame adalah cinta kasih
...pada waktunya kebijaksanaan
...tentang diri sendiri adalah kerendahan hati
...terhadap kata-kata tidak berarti adalah keutamaan
Bicara…………
...untuk membela adalah cinta kasih
...dihadapan suatu penderitaan adalah menghibur
...untuk membantu orang lain
...dengan terus terang adalah kejujuran
Diam………….
...waktu dituduh adalah kepahlawan
...waktu dicaci maki adalah cinta kasih
...akan penderitaan sendiri adalah pengurbanan
...dalam penderitaan adalah silih dosa
Bicara…………
...tentang diri sendiri adalah kesia-siaan
...menerangkan gosip adalah kebodohan
...menghilangkan kepalsuan adalah kesadaran
...memulihkan nama baik adalah kejujuran
Diam…………..
...waktu disakiti adalah kesucian
...untuk melinduging adalah kepahlawan
...akan kelemahan orang lain adalah kebaikan
...waktu harus bicara adalah sikap pengecut
Bicara……….
...asal bicara adalah kebodohan
...waktu harus diam adalah omong kosong
...tentang kekurangan orang lain adalah menyakiti
...tentang Tuhan adalah cinta kasih yang besar