Cerpen
Surat Kecil untuk Bunda
Terasa seperti mimpi..., kenangan indah saat bersama buah cintaku dan suamiku, masih tersusun rapi dalam pikiranku. Masih segar dalam benakku keceriaanmu, tawa, dan manjamu memanggilku ‘Mama’...!
Mengingat tawamu yang lebar, bahagia terpatri meliputi hatiku. bila engkau menangis memanggilku..., aku akan berlari menghampiriku dan dengan cekatan kuraih, kupangku, dan engkau akan aman dalam dekapan dadaku, tak akan kubiarkan dirimu bersedih meski hanya sedetik pun. namun..., sekarang aku harus menerima kenyataan pahit ini dan kutelan bulat-bulat. Kemarin..., kemarin yang jauh..., kehadiranmu telah menghapus air mataku, menyembuhkan kesedihanku, dan memberiku harapan akan hidup. sepuluh tahun lamanya aku dan alex, suamiku, menantikan kehadiranmu. seorang anak yang lucu, manja, dan banyak tingkah, dapat menghapus lelah, akan segala keraguan dalam hidupanku dan alex. alicia, itulah nama yang kuberikan kepadamu.
Kemarin, senyummu masih memberikan harapan bagiku dan kata yang terlontar dari bibir manismu menjadi harapan terdahsyat bagiku, “Mama, aku akan sembuh.”
Dalam kesedihan ini aku selalu bertanya dalam diriku, “apakah aku yang tidak mampu merawat dan menjaga alicia, anakku? apakah aku kurang memberikan kebahagiaan kepada alicia?” aku pun mengutuki diriku. aku seorang ibu yang gagal.
Kini Alicia telah tiada....
Ia telah pergi dari kehidupanku, ia pergi empat bulan setelah ayahnya meninggalkan keluarga kami. Kini, aku sendiri, tinggal sebatang kara. Kini hanya isak tangis yang setia menemaniku dalam hidup ini, ditinggalkan oleh orang-orang yang kucintai. aku pun mengutuki kehadiran dan kematian alex dan alicia.
Kucoba menenangkan diri…, memaksa diri untuk tidak percaya pada semua ini, dan berharap bahwa aku sedang bermimpi. “alicia, jangan menghukum Mama seperti ini, nak. Kembalilah, nak…, Mama sayang sama kamu…,” demikian pintaku kepada alicia yang tadi sore dihantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Masih kuingat betapa bahagianya alicia yang selalu ingin mendengarkan dongengku sebelum tidur. “Hah…, aku tersadar…. alice telah pergi, ia kini tidur bersama ulat dan tanah.”aku menatap langit-langit kamarku.tiba-tiba terasa sunyi, hanya detakan jarum jam yang kudengar sehingga kesedihanku semakin mendalam. aku menoleh ke sebelah kananku…, kutatap butiran rosario yang melingkar pada leher bundaku Maria. Kuceritakan semua kisah yang kualami pada Maria. tiba-tiba saja suasana berganti. aku terperangkap. Kutuliskan semua kenangan bersama alex dan alicia. Kuabadikan dalam surat kecil pada sang bunda….Terasa seperti mimpi..., kenangan indah saat bersama buah cintaku dan suamiku, masih tersusun rapi dalam pikiranku. Masih segar dalam benakku keceriaanmu, tawa, dan manjamu memanggilku ‘Mama’...!
Mengingat tawamu yang lebar, bahagia terpatri meliputi hatiku. bila engkau menangis memanggilku..., aku akan berlari menghampiriku dan dengan cekatan kuraih, kupangku, dan engkau akan aman dalam dekapan dadaku, tak akan kubiarkan dirimu bersedih meski hanya sedetik pun. namun..., sekarang aku harus menerima kenyataan pahit ini dan kutelan bulat-bulat. Kemarin..., kemarin yang jauh..., kehadiranmu telah menghapus air mataku, menyembuhkan kesedihanku, dan memberiku harapan akan hidup. sepuluh tahun lamanya aku dan alex, suamiku, menantikan kehadiranmu. seorang anak yang lucu, manja, dan banyak tingkah, dapat menghapus lelah, akan segala keraguan dalam hidupanku dan alex. alicia, itulah nama yang kuberikan kepadamu.
Kemarin, senyummu masih memberikan harapan bagiku dan kata yang terlontar dari bibir manismu menjadi harapan terdahsyat bagiku, “Mama, aku akan sembuh.”
Dalam kesedihan ini aku selalu bertanya dalam diriku, “apakah aku yang tidak mampu merawat dan menjaga alicia, anakku? apakah aku kurang memberikan kebahagiaan kepada alicia?” aku pun mengutuki diriku. aku seorang ibu yang gagal.
Kini Alicia telah tiada....
Ia telah pergi dari kehidupanku, ia pergi empat bulan setelah ayahnya meninggalkan keluarga kami. Kini, aku sendiri, tinggal sebatang kara. Kini hanya isak tangis yang setia menemaniku dalam hidup ini, ditinggalkan oleh orang-orang yang kucintai. aku pun mengutuki kehadiran dan kematian alex dan alicia.
“Bunda…, aku serasa hidup di awang-awang. aku tampak bingung dan tak tahu harus berbuat apa. bagaikan sampan, terombang-ambing dipermainkan gelombang dan tiupan badai yang memaksa memasuki sampan. begitulah kehidupanku ini, dan mesti kulalui.... tapi..., sepertinya aku tak mampu lagi menjalaninyaseorang diri, karena alex, suamiku telah pergi pada bulan Juni yang lalu, dan alicia, putriku satu-satunya, juga pergi meninggalkanku. rasanya tak ada lagi yang ingin kuperjuangkan dalam hidup ini.
Bunda…, sekejam inikah duniaku? Duka atas kepergian alicia masih segar dalam ingatanku. alicia adalah anak yang lucu dan ceria. sepuluh tahun lamanya kami menunggu kehadiran alicia dalam keluargaku, sebagai buah cintaku dengan suamiku. segala cara dan usaha kami lakukan untuk mendapatkan alicia sang buah hati kami. tak peduli siang atau malam, segala pelosok kampung pun kami lewati. Dan orang-orang di sekitar kami sempat mengatakan bahwa aku mandul dan tidak akan mungkin punya anak lagi mengingat usiaku yang sudah lumayan tua. tapi mukjizat itu nyata. sepuluh hari setelah novenaku dan alex selesai, dokter memastikan bahwa aku positif hamil. bahagia rasanya tak terkira. apalagi setelah kelahiran alicia yang imut dan manis, tepatnya pada tanggal 19 Oktober 2011. rasanya kelelahan selama sepuluh tahun dalam penantian, kini terhapus sudah dengan kebahagiaan yang diberikan oleh tuhan melalui seorang anak yang bernama alicia. alicia kurawat sebagai anak yang paling kusayangi. aku selalu berusaha untuk memberikan segala yang ia butuhkan. tetapi, mengapa dia begitu kejam padaku? Dia hanya mampu membahagiakan aku dalam waktu dua tahun?. Waktu yang sangat singkat. sejak Januari, kesehatan alicia berkurang. Dia sering demam dan flu. Penyakit yang tidak tergolong parah menurutku. Dengan kasih keibuan, kuberikan perhatian yang istimewa…, layaknya seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. tapi, ternyata nasib berkata lain.
Kini alicia telah pergi. tanpa pesan apa pun kecuali senyum manis di bibirnya yang masih terlihat segar dalam ingatanku. bunda…, dalam surat kecil ini, kutumpahkan segala keluh kesahku, ceritaku tentang alicia anakku. Kaulah harapanku satu-satunya. alicia yang dulu memberiku kebahagiaan, kini telah tiada. rasanya aku tak punya siapa-siapa lagi karena setelah kepergian alex suamiku, hanya alicia-lah satu-satunya sumber kebahagiaan dalam hidupku. tapi bunda…, aku berterima kasih kepadamu. aku mengingat saat pertama kali aku berjumpa dengan alicia, sampai merawat dan memanjakannya. semua itu dapat kurasakan karena bunda mengabulkan doaku dan alex suamiku. aku berterima kasih pada-Mu. engkau selalu mendengarkan permohonanku.
Dan sekarang pun ya, bunda…, aku masih tetap berharap kepadamu. Janganlah kebaikanmu hanya sekali saja. ajarilah aku menyadari bahwa kebaikanmu itu untuk selama-lamanya, selama aku hidup di dunia ini. Dalam surat kecil ini, aku berharap padamu…. aku yakin engkau akan menolongku dan tak pernah membiarkan orang yang berharap padamu. berikanlah aku senantiasa kebahagiaan dalam menjalani hidupku.
Di malam yang sepi dan dingin ini, angin berembus dengan kencang. Aku datang padamu Bunda, sang pertolongan abadi. Yakinkanlah diriku…, bahwa masih tersedia kebahagiaan yang lain yang masih engkau siapkan untukku. Ku yakin itu ya, Bunda. Salamku.
Category: Future