Pengalungan Bunga kepada Mgr.Anicetus B. Sinaga, OFMCap. |
Pagi
yang cerah, sterdengar dentuman marching band yang dibawakan
oleh siswa/i SD St. Antonius Padua
Tiga Dolok menggelegar menyambut kedatangan rombongan Yang Mulia Uskup Keuskupan
Agung Medan, Mgr.
Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, OFMCap.,
para imam, Dewan Pimpinan FCJM Provinsi Indonesia, Pengurus Yayasan Puteri Hati
Kudus, dan jajaran pemerintahan kecamatan Dolok Panribuan. Hari itu, Jumat
16/09/2016 mencatat sebuah sejarah bahwa acara pemberkatan dan peresmian SD St.
Antonius Padua Tiga Dolok, yang di awali dengan pengalungan bunga kepada Yang
Mulia Bapak Uskup Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap., Provinsial FCJM Provinsi
Indonesia, Sr.M.Cornelia Silalahi FCJM, Ketua Yayasan Puteri Hati Kudus (YPHK),
Sr.M.Frederika Hasugian FCJM dan Dandrem 022 Pantai Timur Pematangsiantar
diwakili oleh Kasilog Letkol B.Simbolon. Acara dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi
yang dipimpin oleh Yang Mulia Bapak Uskup Agung Medan, di damping oleh beberapa
imam konselebran, pada Pkl 09.00 WIB, kemudian perecikan ruangan sekolah,
penandatanganan Prasasti, pemotongan pita, serta acara ramah tamah.
Pengguntingan Pita oleh Yang Mulia Bapak Uskup |
Dalam
kotbahnya, Yang Mulia Bapak Uskup menyampaikan bahwa belum
lama ini kita umat Katolik se-Kesukupan Agung Medan melaksanakan perhelatan akbar yakni SINODE VI
KAM, yang mengusung tema “keluarga
adalah Gereja kecil”. Hal ini memuat misi pendidikan bahwa keluargalah
sekolah perdana bagi anak-anak. Sebagaimana kita sering mendengar dalam
pengumuman di Gereja bagi setiap anak yang lahir, dikatakan dalam bahasa batak:
”sai gabe anak na hasea ma dakdanak on
diadopan ni Debata dohot dongan jolma” (Semoga anak ini
ini menjadi orang yang berguna dihadapan Tuhan dan sesamanya). Ungkapan ini
mengandung makna Pancasilais yang paling mendasar, juga sesuai dengan isi dokumen
Gereja mengenai pendidikan maupun dokumen nasional. Hendaklah anak didik
menjadi anak yang takwa kepada Tuhan dan berjasa bagi masyarakat. Hendaklah
anak didik menjadi orang beriman dan takwa kepada Tuhan dan berjasa kepada
Masyarakat.
Kiranya insan-insan
pendidikan dan keluarga di tempat ini berjanji agar tidak akan pernah
melahirkan orang-orang yang berwatak keras dan jahat. Mari mewujudkan cita-cita
bangsa kita yakni menjadi pembawa damai dan persaudaraan sejati. Saya
mengundang kita semua yang hadir disini, untuk melaksanakan pesan dari Konferensi
Tingkat Tinggi Asia–Afrika di Bandung tahun 1955,
yang sangat men dambakan persaudaraan seluruh dunia dan perdamaian lestari bagi
segala bangsa. Sekolah dan keluarga umat disini dituntut untuk bahu membahu, bersama
dengan pemerintah melahirkan orang-orang yang luhur serta bijak sebagaimana
telah dicita-citakan UUD 1945, yakni hendaklah kita mengutamakan persaudaraan
sejati dan perdamaian seluruh dunia. Jika hal ini kita patrikan dalam diri
kita, alangkah ajaib dan mulianya, alangkah indahnya hari ini menjadi permulaan
yang sangat cerah, tambahnya.
Kita telah mengetahui
bahwa sekolah merupakan “taman” intelektual. Di dalamnya terdapat
permainan intelek (asah, asih dan asuh
nalar nurani) bagi orang-orang yang mencintai pendidikan. Ketika ditransfer
dalam perspektif agama, sekolah kemudian diartikan sebagai “taman mini” Kerajaan
Allah yang mengakomodir setiap orang untuk mendapat pendidikan yang layak. Untuk menuwujudkan hal ini, para pemangku
pendidikan perlu kiranya menyediakan fasilitas yang mendukung. Fasilitas yang
mendukung tersebut yakni, para pendidik baik kepala sekolah, pendidik dan
kependidikan, gedung sekolah, dan fasilitas lainnya. Keseluruhan stakeholder itu turut menentukan
kompetensi anak didik yang diharapkan.
Yang Mulia Uskup Medan, Para Imam Konselebran, DPP FCJM, Pengurus YPHK berpose bersama |
Secara geografis,
lokasi SD St. Antonius Padua cukup primitif dan nampaknya sulit untuk
berkembang karena rumah di sekitar sekolah tersebut masih bisa dihitung dengan jari,
sehingga Bpk. Albert Sinaga, pengurus YPHK dalam sambutannya mengatakan secara
materi Yayasan mengalami kerugian dalam membangun gedung sekolah ini, dan akan
lebih menguntungkan bila diinvestasikan ke bank. Namun, Yayasan mendirikan
sekolah ini bukanlah untuk akses bisnis, dan Yayasan berusaha menabung di BTS (Bank Tabungan Sorga), sehingga Yayasan merasa sangat beruntung
karena menabung kebaikan di tempat ini. Ada ungkapan dalam bahasa simalungun mengatakan
“ai aha do na I parayak mu na manggoluh on” (apa
yang kamu cari di dalam hidup ini). Diharapkan sekolah ini menjadi
istana yang membahagiakan bagi anak-anak bangsa. Maka, perlu ada sinergitas antara kaum pendidik, orangtua, dan
pemerintahan. Orangtua perlu menyadari perannya sebagai
guru dan imam. Sebagai guru yang yang memberikan pendidikan dan pengajaran dan
sebagai imam yang menguduskan dan gembala yang menuntun dan mengarahkan. Inilah
implementasi tema SINODE VI KAM yang baru saja kita laksanakan, yakni “keluarga sebagai gereja kecil”.
Sekolah ini akan
berupaya mengangkat harkat mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat sehingga menjadi setara
dengan mereka yang memiliki previlese. Sehingga dalam konteks ini, guru memiliki fungsi
liberatif, yakni membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan membuat anak-anak
orang miskin mengalami mobilitas sosial dalam masyarakat. Namun, bagi setiap orang yang
memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, terdapat juga pandangan lain yang
lebih radikal. Alih-alih sebagai lembaga yang membebaskan, seperti kita lihat pada
kenyataannya banyak sekolah hanya melestarikan status
quo dan mereproduksi struktur sosial dan ketimpangan dalam masyarakat.
Sekolah memiliki fungsi konservatif, yaitu melanggengkan ketimpangan dan
semakin memperlebar jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sekolah
bukannya membawa si miskin pada mobilitas sosial lebih tinggi melainkan malah
membuatnya terpinggir dan tersisih.
Mudah-mudahan hal ini tidak akan dijumpai di sekolah ini.
Oleh karena itu, tugas
berat berada di pundak para guru kami, demikian disampaikan oleh Sr.M.Cornelia
Silalahi FCJM, Provinsial FCJM. Kita tau
bahwa guru adalah pelaku perubahan. Di zaman kita yang kompleks ini, ditangan para
gurulah kita letakkan hakekat perubahan itu, karena dengan
kegiatannya mengajar, ia membentuk identitas keguruannya. Dan melalui identitas
inilah ia mengukuhkan dirinya sebagai pelaku perubahan. Kegiatan mengajar yang
dilakukan guru di kelas akan memberikan perubahan dalam diri siswanya yang akan
berguna bagi hidupnya mengatasi batas-batas kelas. Sebagai pelaku perubahan,
guru menngubah siswa menjadi lebih baik, lebih pandai, lebih memiliki
ketrampilan yang berguna bagi pengembangan profesi mereka dalam masyarakat.
Guru membuat siswa memahami persoalan dengan lebih jernih sehingga mampu membuat
keputusan dan bertindak secara tepat dan bertanggungjawab dalam hidup mereka.
Guru yang baik membuat siswa siap terjun secara aktif dalam masyarakat sehingga
mampu membangun dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang
sekarang ini mereka alami.
Singkatnya, guru menjadi penentu perubahan dan masa depan bangsa. Maka
diharapkan, guru tetap mampu menumbuhkan kemampuan dirinya
sebagai pelaku perubahan adalah dengan menghayati visi pribadi. Dengan demikian, kita ambil kesimpulan bahwa Pendidikan adalah password penyambung masa depan bangsa
yang lebih cerah.
Untuk itu, kami sangat
mengharapkan adanya kerjasa sama yang baik antara Yayasan, kepala sekolah,
guru, orangtua, anak didik, pihak pemerintahan setempat, Gereja, dan semua saja
yang berandil dalam menentukan kemajuan dan mutu anak-anak bangsa kita di
tempat ini. Hal ini memang tidaklah gampang, namun kami yakin dengan niat baik
yang tertanam di hati kita masing-masing kita mampu mengayunkan perahu
pendidikan di sekolah ini kearah yang lebih baik dan maju, ungkap Sr. Cornelia saat mengakhiri acara
ini. * Sr. Angela Siallagan FCJM.